Setelah terlaksananya perubahan beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi badan hukum milik negara (BHMN), kini muncul rencana untuk melaksanakan hal yang sama di beberapa PTN lain. PTN yang telah berubah menjadi BHMN tersebut adalah UI, ITB, UGM, IPB, UPI, USU dan Unair. BHP (Badan Hukum Pendidikan) merupakan perluasan dari status BHMN yang nantinya akan diterapkan pada PT lainnya, bahkan pada pendidikan dasar dan menengah.
Tujuan dari perubahan status PTN tersebut atau lebih sering disebut dengan otonomi kampus adalah untuk memberikan wewenang secara mandiri dalam pengelolaannya. Kampus diberikan kreativitas sebesar-besarnya untuk mencari sumber pendanaannya. Di antara bentuk kreativitas yang dimaksud adalah kreativitas dalam mengembangkan kompetensi kampus sebagai basis riset sehingga dapat menghasilkan banyak paten, serta income generating technology.
Akan tetapi, sejak pelaksanaan otonomi kampus pada tahun 1999, di beberapa PT-BHMN terjadi kenaikan biaya pendidikan, bahkan sampai tiga kali lipat. Selanjutnya, ada trend di beberapa PTN/universitas tersebut menerima mahasiswa baru dengan jalur khusus yang disertai dengan biaya khusus, hingga 60 jutaan. Sedangkan untuk program regular juga mengalami kenaikan yang signifikan, yaitu hingga 25 juta. Dengan demikian, otonomi kampus nampaknya lebih cenderung pada bentuk komersialisasi pendidikan.
Paradigma Baru Pendidikan Tinggi
Otonomi kampus dilatarbelakangi oleh krisis yang dialami oleh negara ini, diantaranya menyebabkan negara kesulitan dalam memenuhi anggaran belanja negara di bidang pendidikan. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Di lain pihak, globalisasi menuntut adanya kompetisi, transparansi dan aturan sesuai sistem pasar.
Pendidikan kemungkinan adalah vaksin terbaik dan satu-satunya untuk melawan dampak terburuk yang diakibatkan oleh globalisasi. Oleh karena itu perlu restrukturisasi pendidikan, yaitu akuntabel terhadap publik, efisiensinya tinggi, kualitas dan relevansi output, manajemen internal yang transparan dan sesuai standar mutu, serta responsif dan adaptif terhadap perubahan. Sejalan dengan konsep tersebut, maka pendidikan tidak sepenuhnya menjadi tanggungan negara (lagi) tetapi dari dana masyarakat, sehingga mereka memiliki hak untuk mengawasi kinerja universitas. Selanjutnya, dikenal lima pilar paradigma baru dalam pengelolaan pendidikan tinggi, yaitu mutu, otonomi, akuntabilitas, akreditasi dan evaluasi.
Otonomi kampus, diantaranya dengan kebebasan finansial juga dimaksudkan untuk menciptakan independensi kampus. Sehingga universitas sebagai moral force dapat menjalankan perannya untuk mendukung pembangunan nasional. Demikian menurut Dirjen Pendidikan Tinggi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, dalam makalahnya Higher Education Reform in Indonesia.
Untuk mengimplementasikan paradigma baru tersebut, pemerintah mendorong otonomi kampus. Tahap awal dari proses otonomi kampus tersebut adalah perubahan struktur organisasi dan demokratisasi kampus. Pada struktur yang baru tersebut, universitas tidak lagi bertanggung jawab secara langsung kepada menteri (DIKNAS) tetapi pada Majelis Wali Amanat (MWA), sebagai stakeholders dari universitas yang terdiri dari unsur pemerintah, senat akademik, dosen, mahasiswa dan masyarakat. Tahun 2000, otonomi kampus di Indonesia ini juga telah menjadi kajian dalam disertasi Eric Beerkens, pakar kebijakan pendidikan tinggi Belanda yang saat itu sebagai kandidat doktor pada University of Twente, Belanda.
Dampak Privatisasi Pendidikan
Pendidikan merupakan hak setiap warganegara. Oleh karena itu, negaralah yang seharusnya mengelola bidang pendidikan, baik pembiayaan maupun kurikulumnya. Karena, baik/buruknya pendidikan akan berdampak langsung bagi baik/buruknya suatu negara. Paradigma baru dalam bidang pendidikan tersebut, seperti sebuah gagasan yang mulia. Akan tetapi, dampak yang nampak saat ini adalah privatisasi dan komersialisai pendidikan.
Privatisasi pendidikan tentu saja akan melepaskan negara dari tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan dasar warganegaranya akan pendidikan. Dampak yang akan langsung terlihat adalah berkurangnya subsidi pendidikan, sehingga biaya pendidikan akan semakin mahal. Dengan kondisi ini, maka tidak menutup kemungkinan pendidikan (tinggi) hanya akan menjadi sebuah khayalan bagi sebagian besar warganegara negeri ini sebagaimana di jaman kolonial Belanda dulu. Akibatnya, persentase rakyat yang bodoh semakin tinggi.
Konsep subsidi silang dalam dunia pendidikan, yaitu pemberian beasiswa bagi golongan tidak mampu yang diambil dari biaya pendidikan dari golongan kaya, menurut penulis tidak akan efektif. Hal ini karena jumlah golongan tidak mampu lebih banyak daripada golongan mampu. Disamping itu juga harus diperhatikan dampak psikis yang mungkin akan muncul, jika biaya pendidikan golongan tidak mampu menjadi beban bagi golongan mampu. Oleh karena itu, menjadikan pendidikan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat adalah lebih bijak.
Dampak lain dari privatisasi pendidikan adalah tidak bisa dielakkannya praktik komersialisasi pendidikan. Ilmu pengetahuan layaknya sebuah komoditas perdagangan. Hal ini seperti yang disampaikan Dirjen Dikti dalam makalahnya diatas bahwa “The distinction between knowledge and commodity has narrowed”. Pendapat ini tidak jauh dari tafsiran “jika ingin mendapatkan pendidikan yang berkualitas, maka harus rela membayar mahal”. Akibatnya, konsep ’mengamalkan’ ilmu lebih karena dorongan materi daripada untuk ’ibadah’, yaitu untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama kuliah.
Di sisi lain, hubungan peserta didik/mahasiswa dengan guru/dosen yang diibaratkan seperti anak dan orang tua akan luntur. Hal ini karena mereka merasa telah membayar mahal dan harus mendapatkan pelayanan terbaik. Tuntutan lebih diakibatkan karena dorongan materialisme. Sebagaimana dalam dunia perdagangan, konsumen adalah raja. Tidak menutup kemungkinan, kondisi ini akan merubah norma yang selama ini kita yakini, bahwa guru adalah orang tua kedua yang juga harus kita hormati.